Minggu, 23 April 2017

A Secret Diary



Beberapa hari terakhir rasanya mulai aneh. Ada rasa takut membuka diri kepada beberapa orang, takut membuat kesalahan yang tak dapat dihindarkan. Apakah salah? Sebenarnya tidak. Tapi, terus terang, rasanya takut. 

Aku bukanlah orang yang percaya diri. Aku masih hanyalah manusia biasa di antara kapasitas yang aku miliki. Tapi, kadang rasanya takut jika kapasitas itu malah ujung - ujungnya melukai orang lain. Sulit dijelaskan, tapi kadang aku tidak percaya diri ketika aku menjadi lebih baik daripada orang lain. Aku malah takut. Hanya dengan orang tertentu, aku berani bercerita tentang apa yang terjadi. Jika salah orang, salah paham tidak dapat dihindari. Aku tak ingin menjatuhkan orang lain dengan kelebihan itu, atau apapun omongan orang tentang itu. Kadang, aku masih merasa tidak mau peduli dengan ucapan orang lain. Yang ingin kulakukan hanyalah berjuang untuk hal yang aku sukai.

Kadang, saat ini, aku mulai berusaha berpikir apa yang terjadi tidak dapat dihindari. Tapi, aku tetap harus berjuang mengembangkan diri meskipun nantinya melukai orang lain. Tidak ada maksud seperti itu, tapi kadang itulah yang terjadi. Aku hanya bisa cerita ke orang yang tahu masa laluku. Yang lain, aku takut... Tak perlu tanya kenapa, tokh intinya, aku tak mau ada salah paham. 

Ini hanyalah sebuah curahan hati yang takut. Dari yang pernah merasa bersalah karena kelebihannya. Tapi, ia harus tetap menjaga passion dan bakatnya demi orang lain yang ada di sekitarnya. Walaupun, ia kadang masih takut untuk menunjukkan dirinya di depan orang lain.


Minggu, 16 April 2017

Dua Dunia Avera bag. 5






Avera sudah membuat keputusan bulat. Ia harus melepaskan Roy. Air matanya menetes karena ia terluka.

Roy yang menemaninya pulang saat itu jelas mengeluh dan marah.

"Avera, kumohon. Itu cuma bayangan saja. Dia tidak nyata. Apakah kau tidak mengerti perasaanku?"

"Roy, aku belum mengetahui masa laluku. Aku tak tahu aku ini siapa, orang tuaku siapa pun aku masih belum tahu. Aku tak bisa menemukan mereka."

"Avera..."

"Bagaimana jika aku adalah seorang pembunuh? Bagaimana jika aku adalah istri seseorang? Aku..."

"Dia tidak mencarimu, Avera. Sadarlah. Ini semua tidak benar."

"Tolong hormati keputusanku. Aku ingin tahu masa laluku sebelum ikatan itu terjalin. Aku hanya meminta kesabaranmu. Aku tidak meminta kita putus. Tapi tolong tunda pernikahan ini, tunda pertunangan kita. Ini demi kamu juga. Bukan cuma aku."

Roy pun mengangguk.

"Baiklah. Aku mengerti." Katanya. "Kamu akan sadar hal ini sia - sia saja. Tak akan ada yang aneh, kok. Kamu cuma terlalu khawatir."

"Roy, kumohon. Pahami aku."

"Baiklah." Kata Roy kesal.

Avera agak kesal dengan sikap Roy yang tampak tidak menghargainya. Kadang saat itu ia merasa Roy sangat ingin memilikinya dalam waktu dekat. Ia hanya berusaha memahami bahwa memang wajar jika Roy takut kehilangan dirinya.

Mereka pun tidak makan malam bersama seperti biasanya. Avera sebenarnya kesulitan tidur. Namun, akhirnya, ia melihat bayangan gelap menuju kepadanya dan membuatnya tersungkur. Ia kembali masuk ke dalam mimpinya.

"Avera." Kata Sadroz yang kembali menghampirinya.
"Kumohon, bukalah masa laluku. Jika benar kau suamiku, tunjukkanlah kebenaran itu. Kau seharusnya tahu aku harus melukai hati seseorang yang aku cintai karena kamu."
"Maaf." Kata Sadroz. "Sayang, Avera, kamu adalah istriku."

Bersambung.




Sabtu, 08 April 2017

Respecting Myself



These days are different than last year of my life. And I'm so grateful that it is much better than last year.

Membandingkan hari ini dan tahun lalu akhirnya menjadi isi kepalaku beberapa hari terakhir ini. Kenapa? It's been so long that I was stressed out. Membayangkan dulu pernah ngalamin yang namanya di tempat kerja lama, murid ditarik bos dan ga bisa dapat murid baru. Dan masuk ke tempat kerja baru dengan situasi berbanding terbalik. Well, yah beda jauh sih.

I was alone. But now I am not. I don't know how many times I have this smile and great passion. So, it was better than last year when he took away 8 - 10 of my students.
Time has passed, slowly but healing. And I think I chose the right decision for respecting myself and doing what I want to do. Last year, I was living in nightmare. My head was full with questions of not being respected by my exboss. Dan harus deh rasanya yang namanya kuat mental habis - habisan. Ya iyalah... Kita juga ga bisa dapat murid baru waktu itu. Tahu - tahu ketahuan deh bosnya ngeblok kita dapat murid baru. Hmmm... Makin kayak hidup dalam mimpi yang tampak ga masuk akal tapi kejadian.

Now, with this new place of job. I am so grateful that I chose to leave the nightmare. Somehow, I've been much happier. Paling tidak, walau income jadi pas - pasan, entah kenapa I'm much happier. Mungkin karena sudah lama banget ga sehappy itu, aku masih agak ga percaya kalau hari ini aku sebenarnya udah jauh lebih happy.

So, sometimes life has shown me to choose a risky path for my happiness. And I think I will really want to know about the future of me. A lot of things have been happening since I left my previous workplace. And I know the reason why I should have left.

Then, goodbye my past nightmare, and I hope I would find much other happiness in the future.


Sabtu, 01 April 2017

Dua Dunia Avera Bag. 4



Avera memang tidak bisa tenang saat bekerja. Ia tidak bisa duduk dalam waktu yang lama. Ia pasti setelah beberapa menit, kembali berdiri, berjalan, kadang tanpa arah. Diana yang melihatnya, mengajaknya bicara saat makan siang.

"Ada apa?" Tanya Diana.
"Aku... Mimpi itu... Menggangguku lagi, tapi aku sudah lihat orang itu. Aku rasa aku mengenalinya."
"Yakin?"
"Dia berbeda... Tapi, katanya dia suamiku."
"Suami? Yah, cuma mimpi, sih."

Avera terdiam. Ia mendadak tidak yakin kalau itu hanyalah mimpi.

"Bagaimana kalau bukan mimpi?"
"Maksudnya kamu yakin kalau itu bukan mimpi?"

Avera terdiam. Ia belum berani menjawab.
"Kamu tahu kan ingatanku belum pulih."
"Iya, sih. Padahal sudah hampir dua tahun. Kamu mungkin harus berdoa lagi atau pergi ke suatu tempat agar kamu bisa ingat sesuatu."
"Sudah kulakukan, tapi belum terjawab. Aku... "
"Kenapa?"
"Jika aku mempertahankan hubungan ini dengan Roy, aku... Mungkin aku sedang mengkhianati seseorang."
"Maksud kamu? Bukankah di kartu identitas, kamu single?"

Avera masih belum meyakini status singlenya. Ia curiga bahwa kartu identitasnya palsu atau dibuat sebelum ia menikah. Ia masih bisa mengingat jelas nama dan wajah Sadroz. 

"Aku tak tahu. Aku curiga itu salah. Berada di tempat itu bersama Sadroz, aku..."
"Sadroz siapa?"
"Pria yang mengaku menjadi suamiku."
"Oh, masih bisa ingat namanya. Hebat."
"Sudahlah, aku bingung. Mungkin aku harus break dulu sama Roy sampai semuanya jelas."
"Aku sih bilangnya terkesan terlalu panik, sih. Tapi, kalau saran dari aku, dengarkan kata hati kamu. Kalau harus putus dulu, ya sudah. Tapi, nanti kalau baikan lagi, harus sudah mantap."

Avera menatap mata Diana. Kadang, ia suka melupakan satu hal itu: mendengarkan kata hatinya. Ia selalu menuruti perintah dan saran dari orang lain.

"Ingat, ya. Kadang orang bisa salah. Jadi kamu yang harus menentukan sendiri, Avera. Tapi apapun keputusannya, jangan pernah menyesalinya. Aku percaya, kok sama Avera."

Avera pun tersenyum. Saat itu, ia tahu ia harus mengambil keputusan pahit, melepaskan Roy, walau hanya sementara sampai ia menemukan masa lalu yang hilang.