A few days ago, a lady, a great one, a fighter, passed away. I will give a post for her as an appreciation for what she had done.
Mutia Dharma itu salah satu penggerak musik klasik di Bandung. Aku dulu sering ketemu dia pas acara konser ketika dia jadi MC atau jadi event organizer. Aku juga pernah lihat dia main piano pas dia konser barengan.
Aku mungkin cuma orang biasa aja pas pertama kali ketemu dia. Mungkin pertama kali lihat, dulu kami tidak sampai saling menyapa satu sama lain.
Pertama kali, aku sama Kak Mutia ngobrol itu, pas aku lagi nunggu taksi habis nonton konser di GKI Anugrah. Kak Mutia waktu itu nawarin ke aku untuk ikut bareng sama dia. Paling tidak sampai perempatan Antapani.
Kami lumayan banyak mengobrol. Dia tanya kegiatan aku waktu itu. Waktu itu, aku masih mengajar di salah satu sekolah musik di Bandung. Ternyata, dia kenal sama mantan bos aku. Sebenarnya kedua mantan bos aku. Tapi aku lebih banyak cerita mantan bos yang kedua. Tapi, jangan salah, itu masih tidak sebanyak ketika kami bicara tentang teman - teman kami yang pernah ada di Paduan Suara UNPAR. Dunia musik Bandung memang kecil.
Aku juga daftar beberapa kegiatan yang diadakan Classicorp. Classicorp sendiri adalah organisasi yang dibuat dan dikerjakan oleh Kak Mutia. Musik, khususnya piano dan sedikit "padus" memang sudah jadi bagian hidup aku. Aku berjuang lumayan keras demi mengembangkan diri waktu itu. Rasanya ada beberapa event Classicorp yang aku ikuti.
Yang sebenarnya paling berarti buat aku ketika Kak Mutia memperkenalkan Harimada Kusuma kepada kita di Bandung. Aku masih termasuk newbie jadi yang sebelumnya mungkin masih terlewatkan oleh aku.
Dari masterclass itu, ujian lagunya aku mendapat skor cukup besar untuk dua lagu yang diuji. Terlepas dari fakta skor lagu yang satu lagi masih lebih tinggi. Tapi skor itu penyelamat aku untuk mendapat "Distinction". Kedua lagu tersebut aku mendapat 27 dari 30. Pujian deh untuk Kak Harimada atas bimbingannya.
Terakhir, aku bertemu dia ketika Sam Haywood datang ke Bandung. Kembali di rumah Pak Lendi, aku melihat beberapa teman mendapat masterclass aktif dari Sam Haywood.
I told him "I'm just watching."
Yah aku lupa harus bicara apa sebagai passive participant waktu itu.
Ketika Kak Mutia datang, ia sudah memakai tongkat. Aku waktu itu belum tahu tentang sakitnya. Ketika aku mau membantu dia, aku ragu - ragu. Kadang, aku merasa harus membiarkan dia berjuang agar tubuhnya terlatih. Aku masih terlalu karena bingung harus berbuat apa. Apakah aku menyesali itu? Aku tidak bisa jelaskan. Itu sudah masa lalu. Aku waktu itu terlalu "polos" atau "lemot".
Hanya saja ketika Sam Haywood harus membantu dia berdiri, aku baru sadar dia sakit. Sekarang aku sadar kenapa status FB Kak Mutia terkesan penuh perjuangan.
Kak Mutia masih sempat mengutarakan keinginannya untuk bermain piano lagi. Aku masih ingat kalau aku juga memberikan komen agar dia semangat. Bahkan kalau aku dengar cerita di detik - detik terakhir hidupnya, ia masih tersenyum walau menahan sakit.
Kadang aku menyayangkan ketika itu orang tuaku tidak mengijinkan aku menengok dan juga akhirnya melayat. Well, kondisi aku juga lagi agak ngedrop sih.
Rasanya kalau melihat kilas balik apa yang Kak Mutia lakukan, aku merasa harus berterima kasih banyak sekali atas apa yang sudah dilakukannya. Aku juga berterima kasih karena beberapa temanku juga berkembang karena dirinya.
Hal yang mungkin akan sulit dilakukan adalah meneruskan perjuangan Kak Mutia. Semoga perjuangan itu bisa terus berlanjut di tangan teman - teman yang lain. Semoga Tuhan membantuku sehingga suatu saat aku bisa memberikan lebih.
Finally, Kak Mutia, thank you for everything. Be happy. I think you will be a better pianist there in heaven. You will not be hurt again. Farewell. Rest in Peace and Happiness.