Selasa, 28 Februari 2017

Ucapan Selamat Jalan (Selamanya)



A few days ago, a lady, a great one, a fighter, passed away. I will give a post for her as an appreciation for what she had done.

Mutia Dharma itu salah satu penggerak musik klasik di Bandung. Aku dulu sering ketemu dia pas acara konser ketika dia jadi MC atau jadi event organizer. Aku juga pernah lihat dia main piano pas dia konser barengan.

Aku mungkin cuma orang biasa aja pas pertama kali ketemu dia. Mungkin pertama kali lihat, dulu kami tidak sampai saling menyapa satu sama lain.

Pertama kali, aku sama Kak Mutia ngobrol itu, pas aku lagi nunggu taksi habis nonton konser di GKI Anugrah. Kak Mutia waktu itu nawarin ke aku untuk ikut bareng sama dia. Paling tidak sampai perempatan Antapani.

Kami lumayan banyak mengobrol. Dia tanya kegiatan aku waktu itu. Waktu itu, aku masih mengajar di salah satu sekolah musik di Bandung. Ternyata, dia kenal sama mantan bos aku. Sebenarnya kedua mantan bos aku. Tapi aku lebih banyak cerita mantan bos yang kedua. Tapi, jangan salah, itu masih tidak sebanyak ketika kami bicara tentang teman - teman kami yang pernah ada di Paduan Suara UNPAR. Dunia musik Bandung memang kecil.

Aku juga daftar beberapa kegiatan yang diadakan Classicorp. Classicorp sendiri adalah organisasi yang dibuat dan dikerjakan oleh Kak Mutia. Musik, khususnya piano dan sedikit "padus" memang sudah jadi bagian hidup aku. Aku berjuang lumayan keras demi mengembangkan diri waktu itu. Rasanya ada beberapa event Classicorp yang aku ikuti.

Yang sebenarnya paling berarti buat aku ketika Kak Mutia memperkenalkan Harimada Kusuma kepada kita di Bandung. Aku masih termasuk newbie jadi yang sebelumnya mungkin masih terlewatkan oleh aku.

Dari masterclass itu, ujian lagunya aku mendapat skor cukup besar untuk dua lagu yang diuji. Terlepas dari fakta skor lagu yang satu lagi masih lebih tinggi. Tapi skor itu penyelamat aku untuk mendapat "Distinction". Kedua lagu tersebut aku mendapat 27 dari 30. Pujian deh untuk Kak Harimada atas bimbingannya.

Terakhir, aku bertemu dia ketika Sam Haywood datang ke Bandung. Kembali di rumah Pak Lendi, aku melihat beberapa teman mendapat masterclass aktif dari Sam Haywood.
I told him "I'm just watching." 
Yah aku lupa harus bicara apa sebagai passive participant waktu itu.



Ketika Kak Mutia datang, ia sudah memakai tongkat. Aku waktu itu belum tahu tentang sakitnya. Ketika aku mau membantu dia, aku ragu - ragu. Kadang, aku merasa harus membiarkan dia berjuang agar tubuhnya terlatih. Aku masih terlalu karena bingung harus berbuat apa. Apakah aku menyesali itu? Aku tidak bisa jelaskan. Itu sudah masa lalu. Aku waktu itu terlalu "polos" atau "lemot".

Hanya saja ketika Sam Haywood harus membantu dia berdiri, aku baru sadar dia sakit. Sekarang aku sadar kenapa status FB Kak Mutia terkesan penuh perjuangan.

Kak Mutia masih sempat mengutarakan keinginannya untuk bermain piano lagi. Aku masih ingat kalau aku juga memberikan komen agar dia semangat. Bahkan kalau aku dengar cerita di detik - detik terakhir hidupnya, ia masih tersenyum walau menahan sakit.

Kadang aku menyayangkan ketika itu orang tuaku tidak mengijinkan aku menengok dan juga akhirnya melayat. Well, kondisi aku juga lagi agak ngedrop sih.

Rasanya kalau melihat kilas balik apa yang Kak Mutia lakukan, aku merasa harus berterima kasih banyak sekali atas apa yang sudah dilakukannya. Aku juga berterima kasih karena beberapa temanku juga berkembang karena dirinya.

Hal yang mungkin akan sulit dilakukan adalah meneruskan perjuangan Kak Mutia. Semoga perjuangan itu bisa terus berlanjut di tangan teman - teman yang lain. Semoga Tuhan membantuku sehingga suatu saat aku bisa memberikan lebih.


Finally, Kak Mutia, thank you for everything. Be happy. I think you will be a better pianist there in heaven. You will not be hurt again. Farewell. Rest in Peace and Happiness.



Senin, 20 Februari 2017

Dua Dunia Avera Bag. 2



Avera masih menahan nafas. Sesaat, ia berusaha melawan segala rasa takut dan merinding yang ia miliki. Takut membuka mata, ia hanya berani menunduk.

"Avera, kau sudah lupa siapa aku?" Suara pria mulai berbicara.

"Aku tak mengenalimu. Ini semua gila... Jangan kejar aku lagi. Jangan datangi malamku lagi. Sudah cukup sampai di sini."

"Buka matamu. Seseram itukah aku, Avera? Kita sudah hidup bersama bertahun - tahun lamanya dan kaulupakan aku."

"Kau mengerikan."

Pria itu terdiam. Ia menatap Avera dengan pandangan lesu. Ia tahu ia senang memiliki waktu seperti itu lagi dengan Avera. Tapi, seakan harapannya sia - sia saja.

"Maafkan aku membuatmu takut."

"Siapa kau sebenarnya?"

"Kita sudah menikah bertahun - tahun lamanya dan kaulupakan aku. Para Dewa menghukum aku. Mereka menghukum aku dengan hukuman yang lebih parah dari kematianku."
Avera terdiam. Ia tambah bingung. Dalam hatinya, ia berkata kalau ini cuma mimpi. Setelah bangun, tidak akan ada lagi. Cuma mimpi, dan itu tidak nyata adanya.

Ia pun mengangkat wajahnya berhadapan dengan bayangan pengejar itu. Ia perlahan membuka matanya. Ia melihat sesosok yang sama seperti manusia lainnya. Yang membedakan hanyalah sepasang matanya yang berwarna ungu dan tubuh yang termasuk tinggi dibanding orang biasa. Ia mungkin sudah mencapai tinggi 2 meter. Ia tampan. Rambutnya berwarna biru. Tidak ada keriput sama sekali.

Nafas Avera tercekat. Seakan ada bayangan yang berusaha masuk ke otaknya namun ia tidak bisa ingat. Ia merasa pernah mengenali wajah itu. Hanya saja, ia lupa bagaimana.

"Siapa namamu?"

"Aku Sadroz." Jawab pria itu dengan pandangan memelas.

Ia sudah cukup menderita karena pertemuan yang sudah ia perjuangkan dan tidak membuahkan malah memberikan fakta pahit. Sang Istri tidak mengenalinya dan malah ketakutan menghadapinya. Ia kehilangan tatapan mata masih satang Avera yang dulu ia biasa terima dalam kesehariannya. Yang ia lihat saat ini hanyalah tatapan asing.

"Sadroz, aku... Aku bertunangan."

Avera gugup dan ia menunjukkan cincin pertunangannya. Lagipula, ia tidak merasa ini wajar. Ini masih cuma mimpi untuk Avera. Tapi, apakah benar itu cuma mimpi? Sesaat Avera mempertanyakan itu, sesaat nafasnya yang tercekat membuat ia ingin menghabiskan waktu dengan Sadroz. Hanya saja, ia tidak mengerti kenapa. Sadroz memang jauh lebih tampan dari Roy. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Sadroz sendiri hanya terdiam dalam luka hatinya. Ia tidak berani bicara. Hanya bisa memandang Avera dengan lesu.

"Hukuman ini... Dewata, ambillah jiwaku. Aku tak mau hidup lagi." Kata Sadroz waktu itu dalam keputusasaan.

Avera terdiam. Ia merasa dirinya pun tanpa daya. Semua tampak nyata saat itu. Ia belum terbangun. Namun, rasa simpatinya terhadap Sadroz membuat ia mengeluarkan kata - kata yang mungkin ia akan sesalkan.

"Jika aku memang istrimu, jangan mudah menyerah mendapatkan aku kembali." Kata Avera.
Sadroz terdiam. Ia menatap Avera. Cahaya itu muncul kembali di matanya. Seberkas cahaya harapan. Ia tampak bahagia dan lega.

Avera pun sadar akan kata - katanya. Ia mulai bertanya bagaimana jika itu bukan mimpi.

Segalanya akan kacau dan gila. Tapi, ia tidak dapat melawan perasaannya saat itu. Ia tidak menyesal mengatakan itu. Ia sendiri juga tidak tahu apakah ucapannya karena rasa simpati atau...

Avera pun menghentikan pikirannya sendiri saat itu. Ia tidak ingin berpikiran terlalu jauh.
"Aku harus pergi." Kata Avera menatap lubang cahaya yang sekali membangunkan dia.
Sadroz hanya mengangguk.
"Kutemui kau lagi. Nanti..." Kata Sadroz. "Aku akan berjuang mengembalikan cinta kita dan ingatanmu. Maaf."

Avera tersenyum pahit. Hatinya terluka. Jika benar pria itu adalah suaminya, bagaimana dengan Roy? Ia tak mau membagi cinta. Luka lama ketika Roy sempat menduakan dirinya muncul kembali. Sebelum itu, ia sudah lupa. Dan kesadaran Avera akan masa lalu yang hilang darinya pun muncul.

Ia terdiam dan mengangguk. Air matanya menetes perlahan tanpa sebab jelas. Yang ia tahu, ia Ingin menangis. Masa lalu hilang berarti ada yang tidak beres. Ia baru menyadarinya saat itu. Ia hanya bisa berpikir "Apa boleh buat."

Ia terbangun tanpa rasa takut yang biasa ia alami. Ia ingat jelas semua yang terjadi di mimpinya. Ia hanya menarik nafas dalam.
"Cuma mimpi, kan? Kenapa begini?"


Bersambung.


Jumat, 17 Februari 2017

Dua Dunia Avera Bag. 1



Avera terbangun lagi dari mimpinya. Ia sadar ia gelisah. Detak jantungnya begitu cepat. Tubuhnya masih merinding ketakutan.

"Ayolah, Avera. Cuma mimpi buruk." Kata Avera dalam hati.

Ia pun keluar kamar untuk menenangkan dirinya. Sesaat, karena sendirian, ia pun berusaha kembali mengingat apa yang ia mimpikan.

Dalam mimpinya, ia dikejar sesuatu bayangan gelap. Bayangan gelap itu seakan ingin membunuhnya. Ia hanya berlari ketakutan. Ia terbangun ketika ia masuk ke dalam sebuah lubang cahaya.

Paginya, Roy, tunangan Avera menjemputnya dari rumah. Sudah jadi kebiasaan sehari - hari Roy mengantar Sang Kekasih ke kantornya. Begitu juga saat Avera pulang dari tempat kerja, ia pergi ke kantor Avera, makan malam bersama jika sempat.

"Roy, aku takut. Semalam aku bermimpi hal yang sama lagi. Aku dikejar."
"Sudahkah kau berdoa sebelumnya?" Tanya Roy sambil menyetir.
"Sudah... Aku sering merasa bersalah setelah mimpi. Aku takut ada kesalahan yang belum dimaafkan. Masalahnya aku tidak tahu oleh siapa, atau dengan siapa."

Roy terdiam. Dalam hatinya, ia tahu Avera sebenarnya menderita karena hal tersebut. Jika hampir dalam setiap harinya, Avera memimpikan hal yang sama, dan itu membuatnya ketakutan, sudah jelas itu tidak sehat.

"Anggaplah tidak ada apa - apa. Jangan terlalu memikirkannya lagi. Kita harus fokus pada pernikahan kita." Kata Roy.

Avera meraih tangan Roy. Roy pun tersenyum. Mereka pun sampai di kantor tempat Avera bekerja. Roy pun membelai pipi kekasihnya sebelum Avera keluar mobil. Avera membalasnya dengan senyuman. Sesaat ia berharap mimpinya akan segera hilang setelah ia menikah nanti. Jika mimpi itu tetap ada, mimpi itu hanya akan menghancurkan kehidupan mereka.

Avera menahan tangis membayangkan bahwa Roy akan meninggalkannya setelah mereka menikah karena sebuah mimpi buruk berulang. Ia takut walaupun ia berharap cinta Roy cukup kuat menahan "cobaan" itu.

Avera pun makan bersama dengan sahabat baiknya saat istirahat. Ia menceritakan kegelisahannya karena mimpi buruk yang menghantui tidurnya.
"Kau sudah coba ke psikiater untuk menanyakan itu? Atau apa kek yang belum kamu coba." Kata Diana di selang waktu makan bersama.
"Belum. Aku takut dianggap gila. Siapa lagi sih orang yang pernah kayak gini?"
"Pasti ada kok. Nih aku google dulu deh." Kata Diana.
Diana pun mencari tahu soal itu.
"Ini katanya mimpi berulang itu ga cuma kamu yang ngalamin. Ada banyak yang lain. Katanya ada hubungannya sama alam bawah sadar."
"Nah, itu dia. Selama ini, aku ga ngerasa punya seseorang yang aku takuti atau benci. Kenapa di mimpi aku jadi takut setengah mati?"
"Pernah baca?"
"Pernah cari tahu. Roy juga bilang gitu, sih. Tapi ya aku berusaha ga mikir macam - macam juga. Mimpinya masih ada, kok."
"Ya sudah, coba capek dulu sebelum tidur. Mungkin ngebantu. Atau denger musik relaksasi deh."
"OK. Nanti aku coba deh. Thanks."

Setelah kerja selesai, Roy menjemput Avera dan Avera menceritakan idenya untuk mendengar musik relaksasi sebelum tidur. Roy pun mengiyakan karena ia juga tidak tahu cara apa lagi yang bisa dilakukan.

Setelah makan malam selesai, Avera pun mendengarkan musik sambil bermeditasi untuk menenangkan pikirannya. Ia fokus terhadap bayangan yang indah. Setelah itu, ia pun beristirahat. Ia masih memasang lagu relaksasi yang menemaninya tidur.

Namun, bagaimanapun, mimpi itu kembali terulang.

"Avera!!!" Teriak bayangan itu.

Avera tetap berlari. Namun saat itu, ia sadar dalam mimpinya bahwa ia harus berubah. Ia tidak berlari dan membiarkan bayangan itu sayang kepadanya.

"Sudah cukup. Aku mohon sudah cukup. Jangan kejar aku lagi. Sekarang aku disini. Selesaikanlah masalah kita. Aku tak tahu kenapa kau selalu mengejarku."

Bayangan itu pun melambat bergerak mendekatinya. Avera menarik nafas yang dalam walau ia takut. Jantungnya berdegup cepat dan keras. Ia ingin kembali lari tapi ia berusaha bertahan dalam ketakutannya. Ia mengumpulkan segenap keberaniannya untuk tetap diam. Sambil menutup mata, ia terus berdoa, memohon agar dirinya baik - baik saja.

Bersambung.

Rabu, 08 Februari 2017

Ketika Memaafkan Menjadi Sulit



Well, aku sebenarnya pernah posting tema ini sebelumnya di sini dan sudah kutambahin lagi, tapi ide lain tentang "maaf" muncul. Di postingan aku sebelumnya, ada sedikit cerita bahwa aku masih belum bisa memaafkan 100%. Aku akan jujur kalau menjalaninya memang tidak semudah itu walaupun aku bukanlah orang yang tampak pemarah atau bossy.

So, kali ini aku mau share tentang cara memaafkan bagi yang sulit memaafkan. Aku tahu buat aku ini bukan hal yang gampang. Bekas luka itu masih membekas, sampai aku berdoa agar Tuhan membantuku memaafkan dia. Tapi, tiap kali ingat masa lalu tentang apa yang terjadi, aku masih merasakan irisan itu. Masih nyesek walau syukurlah bisa cepat hilang.

1. Coba ubah sudut pandang
Bagaimana jika teman pembaca yang menjadi orang yang belum bisa dimaafkan. Jika Anda berada di dalam posisinya, apakah Anda akan melakukan hal yang ia lakukan? Terkadang seseorang melukai perasaan Anda karena sesuatu telah terjadi pada diri mereka sebelumnya. Jika Anda tidak akan melakukan hal tersebut, jika berhadapan dengan kondisi tersebut, usahakan jangan jadi "over thinking". Maksudnya adalah jangan biarkan situasi itu menghantui pikiran Anda. Life must go on. Walau dialah penyebab hambatan dalam kehidupan Anda, hidup harus tetap berlanjut.

2. Ingat segala kebaikan dari orang itu
Nila setitik, rusak susu sebelanga. Mungkin itu juga cocok untuk dipakai ketika seseorang melukai perasaan kita. Segala kebaikan atau hal positif yang ia berikan kepada kita bisa menjadi hangus karena kesalahan yang ia buat. Nah, kalau sudah begitu, cobalah melihat kebaikan yang ia lakukan. Jadi, setiap teman pembaca teringat akan kesalahan itu, alihkan ke sisi positifnya dia. Sisi positif dirinya yang benar - benar Anda sukai deh. Kalau masih sulit, alihkan pikiran kita ke hal lain. Misalnya hal apa yang mau dikerjakan, atau lakukan hobi.

3. Tulislah segala perasaanmu di kertas atau diary
Jika memang masih suka kepikiran, tulis saja di kertas atau diary. Teman pembaca bisa mengeluarkan segalanya lewat tulisan segala keluh kesah tentang dirinya. Tidak akan ada yang mendengarkan jadi buang saja semua kemarahan itu lewat tulisan. Kalau misalnya lebih suka lewat gambar atau mungkin musik, lakukan saja.

Aku pernah main satu lagu dulu dan kemarahan itu ketumpah lewat aku main piano. Aku yakin dia waktu itu denger dan tahu aku marah. Udah ga bisa ketahan soalnya. Pernah juga ada murid yang denger dan "ngetawain" sambil pura - pura nangis. Yah... Lagu yang sedih dimainkan pas lagi sakit hati. Yang denger tahu kalau lagunya sedih... Pujian deh... Tanda aku berhasil main piano dengan baik... Walau sebenarnya kesel karena murid ditarik sama bos waktu itu tanpa ada kesepakatan sebelumnya. (Udah itu ga boleh nerima murid baru).

Duh, malah jadi kebawa marah sama dia lagi nih...
Well, kalau udah keluar semuanya, ga apa - apa kok kalau masih marah atau nangis. Wajar. Boleh kok kalau mau simpan catatannya. Boleh juga dibuang. Kalau misalnya setelah melakukan ini, teman pembaca menjadi lega, dan puas berarti paling tidak hal ini membantu. Marah yang ditahan dan disimpan tidak baik untuk kesehatan.

4. Memaafkan tidak berarti harus bertemu dan berbaikan
Well, kalau kasus aku dan mantan bos aku memang keputusan untuk tidak saling berkomunikasi lagi adalah keputusan yang aku ambil. Kami berdua memang tidak pernah saling mengontak satu sama lain setelah pertengkaran hebat kami. Kenapa aku memilih keputusan itu? Aku akan akui kalau itu saran dari beberapa orang. Selain itu, aku tak mau langkah aku tersendat karena fokus sama hal seperti aku mau memaafkan dia jadi bla bla bla... It also means that I love myself. Ini adalah untuk menghargai diri sendiri. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita melanjutkan hidup. Anda bisa takut, malas, atau apapun alasan lain yang membuat Anda tidak ingin melihat atau bisa bertemu dengannya. Itu wajar. Yang penting bagaimana Anda bisa melangkah dengan hati yang ceria tanpa simpan marah atau dendam kepadanya.

5. Time will heal
Waktu akan menyembuhkan luka yang ia berikan. Lama - kelamaan, rasa sakit itu akan berkurang dengan sendirinya. Tapi, selama Anda bisa mengalihkan pikiran Anda tentang dirinya ke arah lain. Don't spend your time to rebuild your anger. Your anger will punish you. Kau mungkin akan kehilangan banyak hal karena simpanan marah.

Akan muncul banyak kegiatan, moment, event, yang akan muncul dan pastinya bisa memberikan pengalaman hidup baru. Munculnya kumpulan moment tersebut pada akhirnya bisa mengurangi luka yang ada perlahan - lahan. Biarkan saja waktu berjalan. Setelah beberapa waktu, ketika Anda bertemu lagi dengannya, segala perasaan marah itu bisa berubah.

6. Berdamai dengan bertemu kembali
Ini bukanlah keputusan yang aku sambil untuk kasus aku dan mantan bos. Aku memberikan saran ini untuk orang - orang yang punya hubungan atau ikatan kuat dengan orang yang dmharus dimaafkannya. Bisa saja dia masih punya hubungan darah, atau sahabat dekat dari kecil. Masih banyak orang yang aku rasa pasti akan bertemu kembali dengan orang yang menyakiti dia. Jadi untuk hal yang ini, siapapun yang akan memulai hubungan baik kembali, sapalah dengan senyuman (walau terpaksa saat itu) atau balaslah sapaan dengan senyuman. Walau mungkin masih canggung, paling tidak akan membantu melegakan perasaan diri sendiri bahwa mungkin masalahnya tidak seberat itu.

Anda juga bisa berinisiatif memulai pembicaraan tentang apa yang melukai diri Anda. Saat itu, Anda harus bisa menjaga emosi Anda dan bersikap menyantai. Mulai dengan sedikit cerita (jangan ceritakan pandangan Anda dulu, dan bagaimana Anda merasa terluka). Mungkin hasilnya, dia akan menceritakan situasi dirinya dan juga alasan mengapa ia "melukai" Anda. Dengan mengetahui hal tersebut, bukan tidak mungkin akan mudah bagi Anda untuk memaafkan dirinya. Tetapi, jika ia membalas dengan amarah, jangan terpancing emosi. Biarkan dia bicara agar jelas permasalahannya. Kalau Anda merasa ada hal yang terkesan janggal, ya sudah, Anda sebaiknya memutuskan hubungan tersebut. Beri dia pengertian bahwa kalian sudah berbeda pendapat. Anda boleh menjelaskan situasi Anda setelah apa yang ia lakukan. Jika sudah tidak mungkin untuk menyelesaikan masalah, kalau aku akan lebih suka melepaskan saja. Aku tidak mau memikirkannya lagi. Intinya itu. Paling tidak Anda jadi belajar sesuatu tentang dirinya. Ingat untuk tetap berkepala dingin saat membicarakan masalah dengannya. Kalau sulit, bawalah teman yang bisa jadi perantara.

7. Cintailah diri sendiri
Sebenarnya hal yang saya sebutkan di atas, fokusnya adalah ini. Kita harus mencintai diri kita sendiri. Tanpa maaf itu artinya kita melukai diri kita sendiri. Karena kita membawa perasaan itu dalam hidup kita. Kita malah lupa untuk berbahagia. Karena itu, janganlah menyimpan dendam berlarut - larut.

Ada kalanya ketika kita memang mau berdamai, tapi ujung - ujungnya dilukai lagi. Memaafkan dia sudah sulit, sekarang setelah berdamai dan berteman sama dia lagi, kok masih bikin luka, ya? Inilah saatnya ketika kita membuat batas dengan orang itu. Itulah yang aku putuskan untuk kasus aku dengan mantan bos aku. Walaupun sebenarnya, aku dan dia sama - sama plegmatis, ya. 
Kami berdua terlalu berusaha menghindari konflik sampai ketika n segalanya kacau balau dan merugikan kami sendiri. Don't let that toxic person ruin your life. Aku rasa aku sudah jadi toxic untuk mantan bos aku seperti dia menjadi toxic person untuk aku waktu itu. Tapi, karena itu aku menemukan tempat kerja dengan mental yang lebih baik (jauh) dan aku tahu aku hanya perlu bersabar ketika jumlah pendapatan turun drastis karena harus start over. (Waktu itu, mantan bos mau tarik murid bawahannya lagi so we fought so hard).

Well, forgiving someone may be hard. But don't let unforgiving ruin your life. Alihkan pikiran ketika kau terbayang kembali tentang masa yang menyakitkan itu. Buatlah dirimu berbahagia. Jadilah berarti untuk orang lain. Dan jangan lupa belajar dari kejadian di mana dirimu terluka.